09 Mei 2011

David Patraeus, Jenderal di Puncak CIA

Presiden Barack Obama membuat gebrakan dengan memilih kalangan militer sebagai Direktur Badan Intelijen AS (CIA). Akankah CIA berbeda di bawah tangan Jendral David Patraeus?

Penunjukkan David Howard Patraeus sebagai pucuk pimpinan intelijen bisa saja menjadi hal yang baik bagi Obama, terutama secara politik. Sang jendral saat ini non-partisan alias tidak menunjukkan dirinya berpihak pada partai manapun, baik Demokrat maupun Republik.

Namun timbul pertanyaan, apakah pria kelahiran 7 November 1952 ini sanggup membawa perubahan yang baik bagi CIA? Mungkin saja. Jika melihat jejak karirnya di militer, Patraeus tak hanya pintar. Ia sanggup memicu kerjasama tim, sesuatu yang dibutuhkan CIA.

Saat ini, ia menjabat sebagai komandan International Security Assistance Force (ISAF) dan memimpin seluruh pasukan AS yang ditugaskan di Afghanistan. Patraeus juga berpengalaman di medan perang Irak, juga sebagai komandan pasukan Amerika.

Gelar Bachelor of Science ia peroleh dari United States Military Academy alias West Point ketika lulus pada 1974 sebagai kadet terhormat. Gelar selanjutnya, MPA (1985) dan PhD International Relations (1987) dari Woodrow Wilson School of Public and International Affairs, Princeton University.

Sempat beredar kabar ia memiliki keinginan untuk menjadi capres, terutama setelah berkunjung ke sekolah yang dikenal sebagai tempat adu debat para capres, Saint Anselm College, New Hampshire. Namun ia berulangkali menyatakan tak memiliki ambisi politik.

Jabatan sebagai komandan AS di Afghanistan ia emban mulai 23 Juni 2010, saat Obama menunjuknya untuk menggantikan Jenderal Stanley McChrystal. Karir militernya ini direncanakan akan berakhir pada September 2011, saat ia benar-benar menjabat sebagai direktur CIA.

Doktrin antipemberontakan Patraeus dikenal amat bagus. Ia bisa membuat seluruh kalangan intelijen AS berdecak kagum jika berhasil menyusun ulang buku putih CIA mengenai cara-cara intelijennya. Namun, Patraeus sampai saat ini belum juga sepeuhnya melibatkan dirinya ke dunia intelijen.

Sejumlah tugas berat sudah menantinya di CIA. Seperti mengeluarkan para analis intelijen dari bayang-bayang. Selama ini, para analis ini tak boleh beraktivitas secara publik dan harus menyembunyikan identitasnya. Sehingga kredibilitas mereka tak membaik.

Ada baiknya jika Patraeus juga membagi informasi yang berada di area abu-abu atau tak jelas kepada para pembuat keputusan di negaranya. Sehingga takkan terjadi salah pengertian, salah tangkap atau membuat pergerakan berdasarkan asumsi dan perkiraan semata.

Meski sebagian besar aset intelijen AS dikerahkan untuk melacak teroris, terutama setelah insiden 11 September 2001. Namun sayangnya, prinsip utama kebijakan asing CIA bukan berdasarkan antiterorisme. Ini bisa diubah oleh Patraeus.

Selain tugas-tugas berat ini, tekanan untuk Patraeus ini bertambah karena beberapa kalangan khawatir ia akan melakukan militerisasi di kubu CIA. Apalagi, organisasi ini sedang berjuang mengatasi tercorengnya nama mereka akibat penggunaan teknik interogasi yang melanggar HAM: waterboarding.